Pesantren: Sistem Lama yang Tak Dapat Nama
Oleh, Nurul Hadi Abdi, Lc.¨
Sejarah pendidikan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari system pesantren. Karena pesantren telah mengemuka di bumi nusantara sejak abad ke-15 Masehi. Sejak saat itu, pesantren berdiri dalam rangka mencerahkan rakyat tanah jawa dengan pendidikan. Adalah Syekh Maulana Malik Ibrahim (w 1419) seorang musafir –yang asal-usulnya bermuara di negeri Samarkand–, telah membuka jalur pendidikan ala pesantren ini untuk pertama kalinya di daerah Gresik Jawa Timur (Intelektualisme Pesantren, edit. Mastuki HS dan M. Ishom El-Saha, DIVA PUSTAKA, Jakarta, 2003). Keberhasilan sang maha guru ini bisa dibilang sangat fantastic dan fenomenal. Pasalnya, dari system pendidikan yang beliau launching tersebut, kemudian menjadi cikal bakal pencerahan tanah jawa dan seluruh bumi nusantara pada umumnya.
Kesuksesan tipe pendidikan ala Maulana Malik Ibrahim, dilanjutkan oleh putra yang sekaligus muridnya dengan memilih kawasan Ampel Denta (kini masuk Surabaya) sebagai tempat pengembangan ilmu pengetahuan dan agama. Tokoh pendirinya kemudian kesohor dengan nama Sunan Ampel. Baik di Ampel maupun di Gresik, pesantren telah mampu mewujudkan sebuah system pendidikan yang efektif dan ekonomis. Semua peserta didiknya, belakangan disebut “santri”, dalam system pesantren tinggal bersama sang guru (lebih sering dipanggil Kiai) selama 24 jam. Dengan demikian, seluruh waktu dan tempat dalam system ini menjadi berarti untuk proses tranmisi ilmu dan akhlak (etika mulia) dari sang kiai kepada santri-santrinya; tanpa ada batas ruang dan waktu. Hingga tidak berlebihan, kalau kita sebut pendidikan semacam ini dengan istilah full time education system.
Dari akar sejarahnya, tidak syak lagi, bahwa pesantren adalah model lembaga pendidikan lama di bumi nusantara, Indonesia. Bahkan system ini merupakan karya budaya kita yang paling orisinil. Produktivitas serta efektivitas metodologinya telah banyak makan garam. Jauh sebelum Indonesia merdeka, pesantren dengan swasembada dan swadayanya telah memberikan andil –yang tidak sedikit; baik tercatat dalam sejarah nasional maupun tidak—terutama dalam memberantas buta aksara dan ikut mencerdaskan anak bangsa. Selain ilmu pengetahuan, beragam produk budaya Indonesia juga banyak dihasilkan dari kreativitas pesantren semacam ini. Seperti, wayang orang, sekaten, tarian sufi (kini menjadi tarian budaya daerah) dan lain-lain. Sedangkan kemampuannya untuk eksis melewati kurun waktu yang sangat panjang, telah membuktikan efesiensi dan efektifitasnya dalam kancah pendidikan sampai saat ini.
Meskipun demikian, sejarah panjang pengalaman pesantren dalam dunia pendidikan, ternyata belum mendapatkan tempat di mata pendidikan nasional pasca kemerdekaan secara proporsional. Perubahan demi perubahan kurikulum pendidikan nasional yang datang silih berganti, seiring dengan kebijakan baru dari masing-masing pemegang kebijakan (baca: Mendiknas), rupanya belum menyentuh system pendidikan yang ada di pesantren dengan lebih intens. Dari sekian ratus, bahkan sekian seribu pesantren di Indonesia, hanya satu-dua pesantren yang kurikulumnya diakui secara formal oleh pemerintah. Hal ini, terlepas dari factor “tanggap-tidaknya” pesantren terhadap perkembangan pendidikan nasional, toh, pesantren sejak dulu, sudah merancang dan menyusun kurikulumnya sendiri secara independen. Jadi, kalau belakangan muncul ide “otonomi pendidikan”, maka pesantren adalah lembaga pendidikan yang paling otonom pertama di Indonesia.
Membincang dunia pendidikan nasional yang tak kunjung bisa diharapkan untuk dapat merespon kurikulum pesantren, dengan kata lain, kita sedang me-review berjuta-juta alumni produksi pesantren yang tidak mendapatkan tempat di dalam negarinya sendiri; baik dalam instansi pemerintahan maupun instansi lainnya. Karena –sebagaimana kita maklumi bersama—seluruh instansi pemerintahan Indonesia, dari level yang paling bawah sekalipun, kualifikasinya tidak lepas dari formalitas pendidikan (baca: ijazah yang diakui pemerintah) yang ditempuhnya. Semakin tinggi jenjang pendidikan yang berhasil diraih, semakin besar pangkat dan posisi yang mungkin didapatkan. Sementara alumni pesantren, setinggi apapun kapabelitas, skill dan potensi yang dimilikinya, dengan bermodal kurikulum pesantren (non-accredited), maka tidak akan pernah berguna di hadapan administrasi Negara. Karena, sampai saat ini, jenjang pendidikan setingkat ma`had ali (setinggat perguruan tinggi [PT]) saja dalam kurikulum pesantren, masih belum mendapatkan payung hukum dalam akreditasi pendidikan nasional. Padahal, ketinggian budi pekerti, kemampuan menejerial dan potensi leadership kaum santri juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Sedangkan, para pemimpin kita, yang katanya mendapatkan gelar pendidikan yang sangat tinggi, secara akhlak masih tergolong TK (taman kanak-kanak), karena kebanyakan dari mereka masih suka “Ke-Ka-Nak-kanakan” (KKN).
¨ Santri Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar Pamekasan. Alumni Al-Azhar University Cairo, Mesir.