Just another WordPress.com weblog

Archive for November, 2010

Pesantren: Sistem Lama yang Tak Dapat Nama

Oleh, Nurul Hadi Abdi, Lc.¨

Sejarah pendidikan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari system pesantren. Karena pesantren telah mengemuka di bumi nusantara sejak abad ke-15 Masehi. Sejak saat itu, pesantren berdiri dalam rangka mencerahkan rakyat tanah jawa dengan pendidikan. Adalah Syekh Maulana Malik Ibrahim (w 1419) seorang musafir –yang asal-usulnya bermuara di negeri Samarkand–, telah membuka jalur pendidikan ala pesantren ini untuk pertama kalinya di daerah Gresik Jawa Timur (Intelektualisme Pesantren, edit. Mastuki HS dan M. Ishom El-Saha, DIVA PUSTAKA, Jakarta, 2003). Keberhasilan sang maha guru ini bisa dibilang sangat fantastic dan fenomenal. Pasalnya, dari system pendidikan yang beliau launching tersebut, kemudian menjadi cikal bakal pencerahan tanah jawa dan seluruh bumi nusantara pada umumnya.

Kesuksesan tipe pendidikan ala Maulana Malik Ibrahim, dilanjutkan oleh putra yang sekaligus muridnya dengan memilih kawasan Ampel Denta (kini masuk Surabaya) sebagai tempat pengembangan ilmu pengetahuan dan agama. Tokoh pendirinya kemudian kesohor dengan nama Sunan Ampel. Baik di Ampel maupun di Gresik, pesantren telah mampu mewujudkan sebuah system pendidikan yang efektif dan ekonomis. Semua peserta didiknya, belakangan disebut “santri”, dalam system pesantren tinggal bersama sang guru (lebih sering dipanggil Kiai) selama 24 jam. Dengan demikian, seluruh waktu dan tempat dalam system ini menjadi berarti untuk proses tranmisi ilmu dan akhlak (etika mulia) dari sang kiai kepada santri-santrinya; tanpa ada batas ruang dan waktu. Hingga tidak berlebihan, kalau kita sebut pendidikan semacam ini dengan istilah full time education system.

Dari akar sejarahnya, tidak syak lagi, bahwa pesantren adalah model lembaga pendidikan lama di bumi nusantara, Indonesia. Bahkan system ini merupakan karya budaya kita yang paling orisinil. Produktivitas serta efektivitas metodologinya telah banyak makan garam. Jauh sebelum Indonesia merdeka, pesantren dengan swasembada dan swadayanya telah memberikan andil –yang tidak sedikit; baik tercatat dalam sejarah nasional maupun tidak—terutama dalam memberantas buta aksara dan ikut mencerdaskan anak bangsa. Selain ilmu pengetahuan, beragam produk budaya Indonesia juga banyak dihasilkan dari kreativitas pesantren semacam ini. Seperti, wayang orang, sekaten, tarian sufi (kini menjadi tarian budaya daerah) dan lain-lain. Sedangkan kemampuannya untuk eksis melewati kurun waktu yang sangat panjang, telah membuktikan efesiensi dan efektifitasnya dalam kancah pendidikan sampai saat ini.

Meskipun demikian, sejarah panjang pengalaman pesantren dalam dunia pendidikan, ternyata belum mendapatkan tempat di mata pendidikan nasional pasca kemerdekaan secara proporsional. Perubahan demi perubahan kurikulum pendidikan nasional yang datang silih berganti, seiring dengan kebijakan baru dari masing-masing pemegang kebijakan (baca: Mendiknas), rupanya belum menyentuh system pendidikan yang ada di pesantren dengan lebih intens. Dari sekian ratus, bahkan sekian seribu pesantren di Indonesia, hanya satu-dua pesantren yang kurikulumnya diakui secara formal oleh pemerintah. Hal ini, terlepas dari factor “tanggap-tidaknya” pesantren terhadap perkembangan pendidikan nasional, toh, pesantren sejak dulu, sudah merancang dan menyusun kurikulumnya sendiri secara independen. Jadi, kalau belakangan muncul ide “otonomi pendidikan”, maka pesantren adalah lembaga pendidikan yang paling otonom pertama di Indonesia.

Membincang dunia pendidikan nasional yang tak kunjung bisa diharapkan untuk dapat merespon kurikulum pesantren, dengan kata lain, kita sedang me-review berjuta-juta alumni produksi pesantren yang tidak mendapatkan tempat di dalam negarinya sendiri; baik dalam instansi pemerintahan maupun instansi lainnya. Karena –sebagaimana kita maklumi bersama—seluruh instansi pemerintahan Indonesia, dari level yang paling bawah sekalipun, kualifikasinya tidak lepas dari formalitas pendidikan (baca: ijazah yang diakui pemerintah) yang ditempuhnya. Semakin tinggi jenjang pendidikan yang berhasil diraih, semakin besar pangkat dan posisi yang mungkin didapatkan. Sementara alumni pesantren, setinggi apapun kapabelitas, skill dan potensi yang dimilikinya, dengan bermodal kurikulum pesantren (non-accredited), maka tidak akan pernah berguna di hadapan administrasi Negara. Karena, sampai saat ini, jenjang pendidikan setingkat ma`had ali (setinggat perguruan tinggi [PT]) saja dalam kurikulum pesantren, masih belum mendapatkan payung hukum dalam akreditasi pendidikan nasional. Padahal, ketinggian budi pekerti, kemampuan menejerial dan potensi leadership kaum santri juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Sedangkan, para pemimpin kita, yang katanya mendapatkan gelar pendidikan yang sangat tinggi, secara akhlak masih tergolong TK (taman kanak-kanak), karena kebanyakan dari mereka masih suka “Ke-Ka-Nak-kanakan” (KKN).


¨ Santri Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar Pamekasan. Alumni Al-Azhar University Cairo, Mesir.

دور الوقف في المجتمع الاسلامي

اعداد: نور الهادي

قال الشيخ أبو زهرة –رحمه الله- فى الوقف عند الشرع تعريفا جامعا بحيث يقول: أن الوقف هو حبس العين، بحيث لا يتصرف فيها بالبيع أو الهبة أو التوريث، وصرف الثمرة إلى جهة من جهات البر وفق شرط الواقف.

ويقسم الفقهاء الوقف من حيث جهة الإنتفاع به إلى ثلاثة أقسام: الوقف الخيري: وهو الوقف الذى يشترط الواقف صرف عائده إلى جهة خيرية مستمرة الوجود (لا تنقطع)، مثل الفقراء، والمساكين، والمساجد، والمدارس، والمستشفيات، وغيرها. الوقف الأهلي أو الذري: وهو الوقف الذى يخصص الواقف عائده لذريته فى البداية، ثم من بعدها لجهة خيرية مستمرة الوجود. الوقف المشترك: وهو ما اشترك فى استحقاق عائده الذرية وجهات البر العامة معا.

فالوقف فى التشريع الإسلامى يستند إلى المصدر الأساسي من القرآن والحديث النبوى، وهو عبارة عن التطوع بالعطية المؤبدة فى الإسلام أو الإنفاق فى سبيل الله. ويتجلى موقف الوقف صريحا من حديث النبي عن أبي هريرة –رضي الله عنه- أن رسول الله (ص) قال: ((إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له)) (رواه مسلم). ويراد بــ”الـصدقة الجارية” فى هذا الحديث الوقف.

***

ثم أصبح الوقف فى الأونة الأخيرة إحدى مؤسسات الخيرية الإسلامية فهذه المؤسسة تعتبر أهلية خارجة عن رعاية الدولة. وبجانب آخر، أخذت الدول الإسلامية -مؤخرا- تهتم بشئون الوقف وأدخلت ادارته فى قانون رسمي للدولة، كما فعل به جمهورية مصر العربية، والمملكة السعودية العربية، والجزائر، والمغرب، والسودان، وبانجلاديس، وإندونيسيا وغيرها. وبهذا الشأن لعب دوره الكبير فى بناء الحضارة الإسلامية منذ بدء التاريخ الإسلامي، وقد شهد على هذا الدور العظيم عدد كبير من الآثار التاريخية فى الدول الإسلامية (من الجوامع والمكتبات والمدارس والجامعات والجسور، والأراضى الموقوفة وغيرها التى تأتى منافعها إلى الفقراء والمساكين والأمة الإسلامية عامة).

***

وتطور مفهوم الوقف من الصدقة المؤبدة إلى المنقولة، وهو وقف النقود الذى له دور مهم أيضا فى تنشيط التجارة خاصة بعد أن ازداد نظام الوقف فى الدولة العثمانية. مهما اختلف الفقهاء حول مشروعية مثل هذا الوقف، لقد سجلته الوثائق الوقفية على هذه العملية فى الإسلام.

ويعد الوقف النقدي أو وقف النقود من الظواهر المميزة للعصر العثماني والعصر الحديث، إذ تطور فيه على المستوى العملى والفقهي موقف جدير بالإهتمام فى مجتمع مسلم جديد.

Pesantren Tumbuh-suburkan ESQ

Oleh, Nurul Hadi Abdi, Lc.§

Sebagaimana telah dimaklumi, pesantren adalah lembaga pendidikan yang berbasis agama Islam (Islamic studies). Penghuni lembaga ini (selanjutnya disebut santri dan kiai) melakukan aktivitas pendidikannya (KBM) selama 24 jam (full time); baik formal maupun non-formal. Jadi, secara kuantitas waktu efektif belajar, pendidikan yang ada dalam pesantren tentu mengungguli semua lembaga pendidikan nasional yang sudah menerapkan full day system (10-12 jam/hari). Namun sudah jamak diketahui bahwa stressing pendidikan formal (classical) yang diterapkan seluruh lembaga pendidikan di Indonesia (baca: non-pesantren) semacam ini lebih kepada kecerdasan intelektual (IQ) daripada kecerdasan-kecerdasan yang lain. Tolok ukurnya adalah prestasi peserta didik standard-nya adalah tinggi-rendahnya nilai mereka secara kognitif.

Sementara, di pesantren rupanya juga sangat efektif dalam menumbuhkan kepekaan social para aktivisnya; mulai dari kiai (sebagai top leader) sampai para santri (dari golongan grease-root pesantren) yang notabene masih berstatus pelajar atau siswa di tingkat pendidikan dasar (SD/MI) sampai pendidikan menengah (SLTP/SLTA) atau bahkan di perguruan tinggi. Hal ini tentu menjadi nilai plus bagi pendidikan di pesantren, karena selain kecerdasan intelektual (IQ) yang terbiasa diasah dalam pendidikan formal, kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) juga diasuh dalam pendidikan pesantren. Sehingga, tiga kecerdasan penting, yaitu ESQ (meminjam istilah Ari Ginadjar) dan IQ tumbuh subur dalam pesantren.

ESQ memang menemukan lahan yang sangat empuk di pesantren, baik terbentuk secara sengaja (by design) maupun tidak. Secara “sengaja” yang penulis maksudkan di sini, artinya telah dipersiapkan dengan system dan metodologi oleh pesentren itu sendiri, biasanya dalam bentuk peraturan atau undang-undang (dasâtîr) bahkan dalam bentuk surat-surat edaran yang sifatnya “anjuran”. Sedangkan secara “tidak sengaja”, kepekaan social –lebih familier disebut emotional question (EQ)— berjalan secara klindan dalam komunitas santri yang heterogen dan dalam permasalan keseharian yang variatif.

Saatnya kini penulis ingin mengajak para pembaca yang budiman untuk menyimak lebih dalam tentang species santri dalam pergumulan dan tindak-tanduknya sehari-hari, hingga berangsur-angsur tumbuh dalam diri [kepribadian] mereka kepekaan social yang penulis maksudkan. Ada tiga factor yang signifikan dalam mempengaruhi kepekaan social santri dalam pergaulannya sehari-hari: Pertama, dari status social yang sama. Yaitu kesamaan santri yang jauh dari ortu secara fisik. Kedua, kompleksitas permasalahan keluarga atau lingkungan hidup mereka sebelum masuk pesantren. Ketiga, latar belakang kultur dan tradisi mereka yang varian. Ketiga faktor tadi terus bersenergis dengan bimbingan dan didikan dari para asatidz dan kiai yang mengawal kehidupan mereka. Hal ini diluar pengaruh undang-undang (dasâtîr) yang mengharuskan mereka untuk tunduk dan berjalan di atas rel etika pergaulan yang berpedoman Al-Quran dan Sunnah.

Sedangkan dari factor undang-undang (dasâtîr) dan system yang ada dalam pesantren, kepekaan social semacam ini mejadi satu-kesatuan dalam konsep pembentukan pribadi santri yang ber-akhlaqul karimah (akhlak mulia). Seluruh undang-undang (dasâtîr) yang diterapkan tidak asal-asalan, landasan normative Al-Quran dan Hadits nabi sebagai pedoman hidup umat Islam yang sudah terbukti ramah lingkungan menjadi basic dari semua aturan main pesantren. Contohnya adalah kewajiban untuk shalat berjamaah, memakai seragam, kerja bakti social, dan kesopanan dalam interaksi dengan para asatidz dan kiai serta pelbagai aturan lainnya.

Setiap aturan, pada hakekatnya, dimaksudkan untuk membentuk kepribadian santri agar lebih disiplin, peka social dan berakhlak mulia. Dengan demikian, alumni pesantren nantinya diharapkan mampu berdikari dan siap pakai (ready for use). Karena pendidikan formal yang ada di pesantren memberi amunisi bagi santri di bidang skill dan pengetahuan secara umum. Sedangkan pembinaan akhlak dan spiritual mereka lebih banyak terbentuk dalam pergumulan kaum santri di lingkungan pesantren. Hal inilah yang akan banyak memberi inspirasi mereka layaknya dalam kehidupan yang riil, terutama setelah mereka berada di tengah-tengah masyarakat kelak.


  • § Penulis adalah santri dan tenaga pengajar PP. Darul Ulum Banyuanyar Pamekasan, alumni Al-Azhar University Cairo